Tak apa.
Kau sudah menjelma hujan yang deras tiba-tiba, membasuh kota dengan sejuk yang berlebihan. Kau acara tv membosankan yang kita perbincangkan di ruang tunggu apotek, mengulur waktu perpisahan. Kau debur ombak yang berkejaran, menggenggam wajahku yang merindukan lautan. Kau gurih dalam kuning telur setengah matang. Kau dekap yang tersisipkan dalam jaket tebal yang kupeluk ketika kantuk menghadang. Kau wafer coklat di antara cracker keju yang menyelamatkanku di pagi yang meradang. Kau ada dalam setiap tokoh ratusan film yang sudah atau belum aku saksikan. Kau mimpi yang tak pernah alpa setiap lelap membuai. Kau bersemayam dalam nada minor lagu-lagu yang kita perdengarkan. Kau pilar tinggi penyangga yang belum pernah kutemukan. Kau hangat di tepi pantai setelah badai menghantam pesisir tadi malam. Kau menyusup dalam cerita masa kecil yang bermain di sekitar rumah, sekolah, atau hutan. Kau adalah sengatan adrenalin setiap sesuatu yang menyenangkan datang. Kau menjadi detik-detik yang ingin kuceritakan. Kau sapa yang terlukis dalam selamat malam. Kau pendar lampu di sepanjang jalan. Kau nikmat dalam setusuk sate kulit ayam. Kau untaian kata yang tak akan pernah kuucapkan. Kau gurat senyum nenek pengemis tua yang duduk di samping trotoar. Kau pekat teh panas dalam genggaman. Kau dengkur kucing yang tidur di atas pangkuan. Kau hadir dalam potongan adegan yang kita tertawakan. Kau embun yang menyelimuti Bandung di pagi bulan kemarau. Kau ada-di setiap sudut yang kulalui dalam temaram, lubang yang kuhindari di jalan, jeda di tengah keramaian; di antara segalanya.
Tenanglah.
Tak akan ada duka yang mampu menandingi semesta yang telah kau selamatkan.
Pergilah,
Karena kau telah abadi.
December 25, 2016
November 13, 2016
Biarlah
Biarkan aku memeluk kakimu dengan hangat yang lebih pekat dari kaus kaki di bulan Desember. Akan kubentengi setiap buku jarimu dari gigil dan perih yang menyusup di malam hari, meskipun deras akan menggerogoti helai buaiku perlahan sampai habis.
Biarkan aku bergelung di atas senyummu yang sabit selamanya, di antara bait kumis yang tercukur tidak rata dan hembusan panjang yang rela kutukar dengan setiap hela sajakku.
Biarkan aku menjelma kata yang tak akan pernah kau ucapkan, terpahat di sepanjang dinding jantungmu tak peduli seberapa gelap dan penuh sesak.
Biarkan aku mengendap di dasar cangkir kopi untuk mendengar setiap keluh kesahmu yang sesaat sebelum kau lempar aku ke dalam bak cuci.
Biarkan aku menyimpan satu lirik matamu dalam saku berenda di atas gaun biruku. Agar bisa kubuka setiap hitam menghiasi langit kota dan malam berkuasa sepanjang tahun, menjadikannya pagi yang melelehkan embun di setiap sela bunga tidurku.
Biarkan aku menjadi setapak panjang penuh genangan tanpa penerangan yang menggemakan tawamu dan mengukir dentingnya diam diam.
Biarkan aku menjelma rindumu, yang tiada.
Biarkan aku bergelung di atas senyummu yang sabit selamanya, di antara bait kumis yang tercukur tidak rata dan hembusan panjang yang rela kutukar dengan setiap hela sajakku.
Biarkan aku menjelma kata yang tak akan pernah kau ucapkan, terpahat di sepanjang dinding jantungmu tak peduli seberapa gelap dan penuh sesak.
Biarkan aku mengendap di dasar cangkir kopi untuk mendengar setiap keluh kesahmu yang sesaat sebelum kau lempar aku ke dalam bak cuci.
Biarkan aku menyimpan satu lirik matamu dalam saku berenda di atas gaun biruku. Agar bisa kubuka setiap hitam menghiasi langit kota dan malam berkuasa sepanjang tahun, menjadikannya pagi yang melelehkan embun di setiap sela bunga tidurku.
Biarkan aku menjadi setapak panjang penuh genangan tanpa penerangan yang menggemakan tawamu dan mengukir dentingnya diam diam.
Biarkan aku menjelma rindumu, yang tiada.
October 27, 2016
Pamit
Telah kutuliskan sajak-sajak
Tentang denting sapamu, yang
Terpahat di sepanjang jalan ini
Namun hanya berpenggal sepi
Sudah kubenamkan hitam
Di setiap lekuk tubuhku, yang
Pekatnya kau senangi, tapi
Rasa tak jua terperi
Lalu kutukar sebotol dekap
Dengan api di rongga dadaku
Gelegak rindu dalam degup jantungku
Tiada berbalas
Sekian lama kutunggu lupa berlabuh di samudera anganku
Dalam gelap yang pernah kau torehkan di kedua mataku
Senja itu
Ia memanggil namaku
Dan oh, Sayang
Kutemukan cinta di atas petak pualam
Tempat bisik dan tangis bersemayam
Saat sesal berhujankan temaram
Dan segala lara
Hilang
Tentang denting sapamu, yang
Terpahat di sepanjang jalan ini
Namun hanya berpenggal sepi
Sudah kubenamkan hitam
Di setiap lekuk tubuhku, yang
Pekatnya kau senangi, tapi
Rasa tak jua terperi
Lalu kutukar sebotol dekap
Dengan api di rongga dadaku
Gelegak rindu dalam degup jantungku
Tiada berbalas
Sekian lama kutunggu lupa berlabuh di samudera anganku
Dalam gelap yang pernah kau torehkan di kedua mataku
Senja itu
Ia memanggil namaku
Dan oh, Sayang
Kutemukan cinta di atas petak pualam
Tempat bisik dan tangis bersemayam
Saat sesal berhujankan temaram
Dan segala lara
Hilang
October 9, 2016
Perca
Senja mengecup tubuhnya
Kulit jati terbuai usia
Matanya samudera
Menatap jauh, mengecap dekat
Memeluk rindu yang terlampau pekat.
Nenekku bersujud dalam baringnya
Meniti esok
Tak pernah sampai.
Kulit jati terbuai usia
Matanya samudera
Menatap jauh, mengecap dekat
Memeluk rindu yang terlampau pekat.
Nenekku bersujud dalam baringnya
Meniti esok
Tak pernah sampai.
September 4, 2016
1430
Ternyata, di bawah hujan sore ini aku masih bocah yang sama---mengadu pada tetes yang mengalir syahdu di sela benang rambutku, ungkapan manja menepis rindu.
Ternyata, di bawah hujan sore ini aku masih bocah yang sama---tertawa riang menyambut dingin angin yang mengantarkan deras kisahnya padaku.
Ternyata, di bawah hujan sore ini aku masih bocah yang sama---hanyut dalam rasa yang mencengkeram akar kata, meluapkan kenang yang kunang di antara gelap lupa.
Ternyata, di bawah hujan sore ini aku masih bocah yang sama---menari dengan irama cinta tadi pagi, tak peduli ada yang menonton, atau siapa yang menanti.
Ternyata, di bawah hujan sore ini aku masih bocah yang sama---menanam harap di tengah tandus tanah merah, tak mau melihat ranting-ranting patah.
Ternyata, di bawah hujan sore ini aku masih bocah yang sama---terpantul atas genangan di tepi jalan selukis muka, hitam berlumur dosa.
Ternyata, di bawah hujan sore ini aku masih bocah yang sama---pernah menjelma setan pengoyak tenun sucimu.
Ternyata, di bawah hujan sore ini aku masih bocah yang sama---meminta cinta saat nyatanya
Ia telah ada sejak lama.
Dan oh,
Ternyata,
Di bawah hujan sore ini,
Aku masih bocah yang sama
Bersimpuh
Di atas
Maaf.
Ternyata, di bawah hujan sore ini aku masih bocah yang sama---tertawa riang menyambut dingin angin yang mengantarkan deras kisahnya padaku.
Ternyata, di bawah hujan sore ini aku masih bocah yang sama---hanyut dalam rasa yang mencengkeram akar kata, meluapkan kenang yang kunang di antara gelap lupa.
Ternyata, di bawah hujan sore ini aku masih bocah yang sama---menari dengan irama cinta tadi pagi, tak peduli ada yang menonton, atau siapa yang menanti.
Ternyata, di bawah hujan sore ini aku masih bocah yang sama---menanam harap di tengah tandus tanah merah, tak mau melihat ranting-ranting patah.
Ternyata, di bawah hujan sore ini aku masih bocah yang sama---terpantul atas genangan di tepi jalan selukis muka, hitam berlumur dosa.
Ternyata, di bawah hujan sore ini aku masih bocah yang sama---pernah menjelma setan pengoyak tenun sucimu.
Ternyata, di bawah hujan sore ini aku masih bocah yang sama---meminta cinta saat nyatanya
Ia telah ada sejak lama.
Dan oh,
Ternyata,
Di bawah hujan sore ini,
Aku masih bocah yang sama
Bersimpuh
Di atas
Maaf.
July 27, 2016
Ya...
Tentu saja,
Dunia dan samudera warnanya
Tak akan berhenti menyapa
Dengan segala
Yang menggigilkan dada
Dalam tanya, dan
Lelah tak bermuara
Patah hati, nyatanya
Tak melulu soal cinta
Dunia dan samudera warnanya
Tak akan berhenti menyapa
Dengan segala
Yang menggigilkan dada
Dalam tanya, dan
Lelah tak bermuara
Patah hati, nyatanya
Tak melulu soal cinta
July 24, 2016
Titik
Kuharap semua luka
Yang dulu kulukiskan
Telah moksa
Dalam cita
Dan persimpangan yang lain.
Terima kasih.
Hujan Bandung malam ini
Menyapaku dengan banyak cerita
Yang pernah kulantunkan padanya
Membuatku tertawa.
Aku telah bebas
Semoga kau pun begitu.
Yang dulu kulukiskan
Telah moksa
Dalam cita
Dan persimpangan yang lain.
Terima kasih.
Hujan Bandung malam ini
Menyapaku dengan banyak cerita
Yang pernah kulantunkan padanya
Membuatku tertawa.
Aku telah bebas
Semoga kau pun begitu.
June 22, 2016
Cerita Pendek
Aku bertanya pada ibu di jalan setapak
Yang membawa sebakul penuh warna
Berkilau diterpa terik matahari
Perhiasankah yang kau bawa
Senyumnya iba
Jauh lebih mahal dari emas dan berlian
Katanya
Alisku mengerut tajam
Adakah ucapmu hanya cerita
Tawa hangat berirama
Menjadi jawabnya
Aku seorang pedagang
Bagi pembeli yang
Dapat melihat warna
Sebagai tinta sepanjang hidupnya
Apalah itu
Ia membelai rambutku
Yang paling berharga
Dari seorang manusia
Dan
Kutitipkan padanya
Lebur dalam bakul penuh warna
Sebongkah
Hati
Yang membawa sebakul penuh warna
Berkilau diterpa terik matahari
Perhiasankah yang kau bawa
Senyumnya iba
Jauh lebih mahal dari emas dan berlian
Katanya
Alisku mengerut tajam
Adakah ucapmu hanya cerita
Tawa hangat berirama
Menjadi jawabnya
Aku seorang pedagang
Bagi pembeli yang
Dapat melihat warna
Sebagai tinta sepanjang hidupnya
Apalah itu
Ia membelai rambutku
Yang paling berharga
Dari seorang manusia
Dan
Kutitipkan padanya
Lebur dalam bakul penuh warna
Sebongkah
Hati
June 21, 2016
Masa Kecilku/nya
Duduk di bangku
Asap cangkir
Koran
Lari
Seputar halaman
Kaki hitam tanah
Hijau rumput terinjak
Lepas
Minyak menyalak
Meja bertata sendok garpu
Tanya gurau
Sarapan
Duduk di bangku
Asap cangkir
Ponsel
Telungkup
Seputar laman
Kaki pucat bulan
Abu rumput terjajah
Mudah
Cemas mengendap
Meja berhias gulungan kabel
Kicau sunyi
Selesai?
Asap cangkir
Koran
Lari
Seputar halaman
Kaki hitam tanah
Hijau rumput terinjak
Lepas
Minyak menyalak
Meja bertata sendok garpu
Tanya gurau
Sarapan
Duduk di bangku
Asap cangkir
Ponsel
Telungkup
Seputar laman
Kaki pucat bulan
Abu rumput terjajah
Mudah
Cemas mengendap
Meja berhias gulungan kabel
Kicau sunyi
Selesai?
Mungkin.
Bagaimana jika
Setubuh pilu itu
Tak lain
Hanyalah
Angan yang kau tempa
Dalam buai angin senja
Hingga
Menjadi belati berukir puisi
Menembus
Jantungmu.
Serahkan padaku
Akan hilang perih
Hatimu dalam genggaman
Tajam taringku
Yang tulus.
(Cintalah bukan karena aku)
Setubuh pilu itu
Tak lain
Hanyalah
Angan yang kau tempa
Dalam buai angin senja
Hingga
Menjadi belati berukir puisi
Menembus
Jantungmu.
Serahkan padaku
Akan hilang perih
Hatimu dalam genggaman
Tajam taringku
Yang tulus.
(Cintalah bukan karena aku)
June 14, 2016
June 13, 2016
May 31, 2016
Sebilah kata menari di balik bibir manismu
Memenggal rasa yang terseok memanjat tebing jantungku
Bermimpi puncak
Dan angin malam yang memeluk pekat
Sementara hangat nada terus terngiang
Hembusan yang sama,
Berulang-ulang,
Sampai mati tercekik
Apa mauku, katamu?
Hamparan rumput menghijau bermandikan kuning
Mentari yang membakar
Habis, bunga-bunga di pekarangan
Lenganmu hitam bermandikan amarah
Api
Apa maumu, kataku!
Gelombang pendar berlari di sepanjang pesisir
Membelah langit dan berjuta angannya
Seperti jutaan jiwa bersemayam di dalamnya
Terkikis satu persatu bersama
Badai yang menghempas sang nelayan tua
Dan air mata
Keluarga yang merindukannya
Lalu, bagaimana?
Memenggal rasa yang terseok memanjat tebing jantungku
Bermimpi puncak
Dan angin malam yang memeluk pekat
Sementara hangat nada terus terngiang
Hembusan yang sama,
Berulang-ulang,
Sampai mati tercekik
Apa mauku, katamu?
Hamparan rumput menghijau bermandikan kuning
Mentari yang membakar
Habis, bunga-bunga di pekarangan
Lenganmu hitam bermandikan amarah
Api
Apa maumu, kataku!
Gelombang pendar berlari di sepanjang pesisir
Membelah langit dan berjuta angannya
Seperti jutaan jiwa bersemayam di dalamnya
Terkikis satu persatu bersama
Badai yang menghempas sang nelayan tua
Dan air mata
Keluarga yang merindukannya
Lalu, bagaimana?
"Maumu Bepergian, Mauku Tidur Seharian"
Bosan libur, Eduplex, Bandung
May 28, 2016
Kita adalah sebuah kisah singkat
Dalam ruang kecil di balik duka
Kau terjemahkan aku
Peta yang terlukis di setiap denyut nadiku
Tatapmu tajam menghujam tubuhku
Menelisik masuk ke dalam aliran darahku
Menggenapkan lagu yang sayup terukir di dinding jantungku
Kita adalah sebuah kisah singkat
Sinarmu berpendar di balik
Benteng kokoh yang menjulang tinggi
Yang lalu seperti
Mengepungku dalam naungan
Peluk
Kita adalah sebuah kisah singkat
Berputar,
Memutar seperti bumi dan bulan yang
Tak lelahnya berkejaran
Merekam cerita dalam
Setiap sudut yang terbentang
Namun bagimu, aku
Hanyalah ribuan gelombang data
Yang bersuara tanpa bahasa
Kita adalah sebuah kisah singkat
Kau
Selamatkan aku.
Dalam ruang kecil di balik duka
Kau terjemahkan aku
Peta yang terlukis di setiap denyut nadiku
Tatapmu tajam menghujam tubuhku
Menelisik masuk ke dalam aliran darahku
Menggenapkan lagu yang sayup terukir di dinding jantungku
Kita adalah sebuah kisah singkat
Sinarmu berpendar di balik
Benteng kokoh yang menjulang tinggi
Yang lalu seperti
Mengepungku dalam naungan
Peluk
Kita adalah sebuah kisah singkat
Berputar,
Memutar seperti bumi dan bulan yang
Tak lelahnya berkejaran
Merekam cerita dalam
Setiap sudut yang terbentang
Namun bagimu, aku
Hanyalah ribuan gelombang data
Yang bersuara tanpa bahasa
Kita adalah sebuah kisah singkat
Kau
Selamatkan aku.
Wedyata Larasartika
Bandung, 23 Mei 2016
Terinspirasi pemodelan cara kerja CT Scan
(Tugas Individu Mata Kuliah Pemodelan Matematika)
Subscribe to:
Posts (Atom)