Elang mengepakkan sayapnya – terbang tinggi di atas kastil yang berdiri kokoh jauh di dalam hutan belantara. Dibawahnya menari seekor naga, yang dengan mudahnya menghembuskan api ke balik ranting dedaunan. Mereka tertawa melihatnya meranggas, terbakar dari akar sampai ke pucuk.
Lalu dengan anggun Elang hinggap di leher Naga, bertanya.
“Jika kita bisa hidup seratus tahun lagi, apa yang akan kau lakukan?”
Lalu Naga mendengus sambil menjawab. “Jika aku hidup seratus tahun lagi, mungkin, seluruh dunia sudah musnah. Dan aku mati sendirian. Tapi mungkin juga aku akan meninggalkanmu, agar tidak bisa melihatku tua dan keriput.”
Elang tersenyum. Lalu mengecup setiap gurat sisik lengan kekasihnya. “Tidak bisakah kau padamkan api itu untukku?”
Detik berlalu. Menit.
Elang mulai merasakan sesuatu yang janggal. “Naga?”
Dan ia pun terkesiap saat kepala Naga jatuh menggelinding menuruni bukit – tanpa darah setetes pun. Naga membatu. Dan Elang dapat mendengar tawa yang melengking tinggi, tapi menusuk jantung.
“Penyihir sialan!” Elang murka. Merah merambati sekujur tubuhnya. Amarah menguasai dirinya, hingga ia bisa menyingkap kabut tipis yang melindungi sang penyihir. Dalam satu hitungan, Elang terbang melesat dan menggores pipi keriput itu. Namun tangan panjang dan kurus itu dengan gesit menangkap Elang, lalu dalam sekejap melenyapkannya jadi abu.
“Dasar Elang tak tahu diri.”
Aku menepuk debu di telapak tanganku, meraih sapu terbang dan melesat hilang.
No comments:
Post a Comment