Senja kali ini aku tak mampu berpuisi. Lidahku kelu, jemariku sibuk menggenggam erat duri. Merah segar mengalir di telapak tanganku.
"Maaf, tanganmu terluka. Bisa saya lihat sebentar?" Aku tersipu.
Belasan kupu-kupu melintas di hadapanku. Di atas pepohonan yang tumbuh lebat, jauh lebih besar dari sepuluh tahun lalu.
"Aku benci kupu-kupu." Kau menepis seekor hitam oranye yang sedang mendekat. "Mereka menipu. Membuat kita menyukainya, gatal gatal setelah mencoba menggapainya. Tabiatnya masih sama. Tidak ada yang berubah kecuali wujudnya saat ia masih ulat." Aku tersenyum. "Aku suka kupu-kupu."
Seekor hinggap di pangkuanku. Merah biru. Membatu, seperti sedang memperhatikanku.
"Kau mengharapkan kedatangannya?" Ia berbicara padaku.
"Ya."
"Kau tahu, aku adalah hitam oranye yang dulu ia tepis."
"Benarkah?"
"Ya, sepuluh tahun yang lalu. Aku terlahir kembali dengan warna berbeda."
"Bohong."
"Ya sudah kalau tidak percaya." Ia terbang perlahan, lalu berkata. "Oh, dan selamat menanti."
"Kau mengharapkan kedatangannya?" Ia berbicara padaku.
"Ya."
"Kau tahu, aku adalah hitam oranye yang dulu ia tepis."
"Benarkah?"
"Ya, sepuluh tahun yang lalu. Aku terlahir kembali dengan warna berbeda."
"Bohong."
"Ya sudah kalau tidak percaya." Ia terbang perlahan, lalu berkata. "Oh, dan selamat menanti."
"Kenalkan, saya Kayu."
"Kayu, seperti jati?"
"Ya, seperti jati." Kau tersenyum. Seperti mentari yang mengintip di balik awan. Cerah, tapi tak menyilaukan. Dan, mau tak mau, senyum itu menular.
Lampu taman mulai menyala. Di balik gelap, malam mulai menunjukkan pesonanya. Bulan dan bintang menyanyikan lagu tidur yang hanya dapat di dengar hati, terutama oleh orang-orang yang tengah duduk sendiri. Sepi.
"Boleh aku memanggilmu Jati?" Celetukku setelah beberapa jam kita duduk di bangku ini.
"Baiklah. Aku panggil kamu Bobo, ya, Nina!"
Deras sungai yang mengalir tak jauh dari sini menyelipkan simfoni di tengah sunyi. Mengantarkan deru angin yang menusuk tulang, mengancam akan tinggal di dalam dan hanya keluar jika dipijat esok pagi.
"Jadi, kamu itu relawan, Jat?" Tangannya begitu cekatan mengobati luka di telapak tanganku.
"Begitulah. Minggu depan aku akan berangkat ke Merapi, membantu teman-temanku yang sudah beberapa minggu tidak pulang. Nanti kami bergantian bertugas disana."
"Berarti, aku tidak akan bertemu denganmu lagi di sini?"
Kau tertawa. Renyah, seperti kue kering buatan Ibu di hari Idul Fitri. Membahagiakan.
Seekor kupu-kupu terbang mengitari lampu, sepuluh langkah dariku.
"Bagaimana kalau, tahun depan, tepat tanggal ini satu tahun lagi, kamu tunggu aku di tempat yang sama?"
Aku mengangguk. Menyanggupi ide gila itu sepenuh hati.
Kupu-kupu itu mendekat. Abu-abu. Tipis, namun sayapnya begitu lebar dan kokoh. Dan jika dilihat dengan seksama, ada garis oranye tipis menyebar di ujung sayapnya, yang entah kenapa mengingatkanku padamu.
"Baiklah. Kuharap kamu benar-benar duduk disini tahun depan." Kau berdiri, lalu mencabut bunga matahari di sampingmu.
"Terima kasih sudah menghangatkan sore ini, Nina. Sampai ketemu tahun depan."
Aku menggenggam erat setangkai pemberian darimu. Senyum lebar tak lepas dari wajahku sampai seminggu.
Kau tahu, setiap tahun aku menunggu di taman ini. Duduk hingga jam sembilan malam, di bawah sinar rembulan dan pepohonan yang makin rindang. Setelah sepuluh tahun menanti, aku menganggap rutinitas ini lebih cocok dijadikan hobi.
"...Tampak kepulan awan panas bergulung-gulung menelan semua yang berada
didepannya. Kendaraan berwarna biru yang ditumpangi para relawanpun
menjadi korbannya. Dikabarkan, empat relawan tewas akibat terhempas awan
panas dalam peristiwa itu...."
Aku tak percaya moksha. Tapi kuharap kau terlahir kembali sebagai kupu-kupu abu dengan garis oranye di ujung sayapnya.
Kutatap mawar yang masih kugenggam erat itu. Merah mengalir di telapak tanganku. Aku beranjak pulang.
No comments:
Post a Comment