Angin malam yang awalnya menyapa mulai menampakkan keganasannya. Rok itu berkibar, memerlihatkan tumitnya yang berkilau diterpa lampu taman. Ia menatap dia, yang tengah menggaruk kepalanya dengan dahi berkerut.
"Tapi saya tidak mengerti. Kenapa kalian mau berjanji dengan hal yang tidak pasti? Bahkan kemungkinannya terlalu kecil. Akhirnya, kan, kalian sendiri yang kecewa."
Ia terdiam. Jangkrik bernyanyi di kejauhan. Ia melepas genggamannya, membiarkan mawar itu terjatuh di atas bebatuan. Lalu tertawa.
"Kamu mungkin belum pernah jatuh cinta."
Dia mengernyit, menolak tuduhan ia.
"Kamu tidak pernah jatuh cinta sedalam itu."
Ia menghela napas.
"Ya. Yang aku lakukan memang bodoh, menyetujui ide konyolnya bertemu setahun lagi. Apalagi terus menunggu tiap tahun di tempat yang sama. Mungkin, seharusnya ini hanya terjadi di film film remaja."
Ia tersenyum.
"Seni menunggu bukanlah mencari jawaban, tapi bersiap dengan semua kemungkinan. Dan, dengan menunggu, perasaan yang tidak benar benar ada perlahan hilang. Bagus untuk memastikan, juga untuk merenungkan banyak hal."
Dia mengencangkan resleting jaketnya. Dingin sudah memeluknya terlalu lama.
"Sebagian orang menganggap, hubungan adalah apa yang bisa dijalani bersama. Suka ataupun duka. Berakhir saat keduanya terpisahkan oleh jarak.
Sebagian menganggap hubungan adalah apa yang bisa dinikmati. Senang sama senang, untung sama untung. Berakhir saat keduanya, atau salah satu, sudah tidak lagi merasa bahagia.
Sebagian menganggap hubungan adalah apa yang terasa di hati...."
Ia menepuk roknya, menepis debu yang menempel.
"Meskipun terlihat seperti orang gila, tapi yang mengandalkan hati adalah orang orang yang paling bahagia."
Dia menunduk. Tidak lagi menatap ia dengan tajam.
"Tapi tetap saja, yang kalian pertaruhkan sudah bisa dipastikan salah..."
Angin yang sedari tadi murka menyingkirkan awan di atas mereka. Bintang menunjukkan pesonanya. Menari di atas hitamnya malam.
Ia menepuk bahu dia.
Lalu berjalan pergi.
Lima langkah kemudian, ia berbalik.
"Oh, dan satu lagi.
Mungkin, dengan berjanji, kami setuju untuk saling menyakiti. Tapi janji itu dibangun di atas mimpi. Kalau saja kau tau bagaimana rasanya."
Senyum ia mengendur. Ia berkata tegas.
"Apakah dengan tidak menjanjikan yang tak pasti kamu tidak pernah menyakiti?"
Dia terhenyak.
Ia tersenyum simpul ketika dia beranjak meraih sepeda. Mengayuhnya pulang.
Tulisan ini adalah respon dari: Akar
No comments:
Post a Comment