Tuhan,
Siang tadi aku sengaja beli domino’s fantastic four dengan topping american classic cheese burger. Dua kotak kecil aku makan sendiri, satu untuk temanku, dan satu lagi kusisakan untuk siapapun yang berpapasan denganku, dan, beruntung.
Satu kotak itu kubawa-bawa sambil berjalan ringan ke arah masjid salman. Tadinya akan kuberi pada tim tukang parkir, tapi sepertinya terlalu kecil. Aku kembali melenggang menyeberang jalan – berharap berpapasan, dengan, entahlah – mungkin orang yang kukenal, atau, wajah asing yang lumayan tampan.
Kau tahu, Tuhan,
Di seberang jalan itu ada nenek-nenek yang sedang duduk di trotoar. Digelarnya terpal kecil untuk menjajakan beberapa jajanan seperti beng-beng, richeese wafer, dan lain sebagainya. Harganya memang mahal, tapi untuk seorang nenek berjualan seperti itu, kurasa memang wajar.
Aku melewatinya.
Beberapa langkah kemudian, kakiku terhenti. Lalu aku berbalik mendekati nenek itu, dan bertanya.
“Bu, udah makan?”
Dia tertawa, bingung.
“Mau ini bu?” Kusodorkan kotak kecil itu.
“Itu apa?”
“Pizza bu. Ini, buat ibu aja ya.”
Lalu dia menerima dengan sedikit kikuk sambil menawarkan jajanannya.
“Ini neng, mau bawa yang mana?” aku menggeleng dan pergi.
Tuhan, muka nenek itu berseri seri. Senang sekali.
Bahagia rasanya, melihat nenek itu. Menuju tempat wudhu aku bermonolog dalam hati. Harusnya, seorang ibu berusia lanjut sudah saatnya tinggal duduk di rumah, menemani cucu yang sudah mulai remaja sambil menunggu anaknya pulang. Bukankah ingin setiap hari melihatnya tersenyum senang seperti itu?
Lalu, Tuhan,
Tiba-tiba saja, rasanya, seperti ada yang tertoreh.
Aku teringat Nenek.
Yang memiliki senyum paling khas – cengiran tulus saat dibawakan apa saja setiap pulang ke rumah. Yang akan menggenggam (padahal cuma camilan) erat-erat di depan dadanya sambil menyeringai lebar sampai matanya hampir tenggelam, lalu bilang, “Asiiiik! Nuhun eeeuy” dan memakannya pelan-pelan. Menikmati setiap gigitan.
Nenek yang jika dibawakan es krim, sate, atau durian, akan duduk di atas kasur sambil ucang angge dan cekikikan – dengan binar seperti di mata anak bayi yang melihat wajah kedua orang tuanya. Lalu melambaikan tangan agar aku duduk di sampingnya. Makan sambil tertawa sampai mulut belepotan.
Tuhan, aku ingin membawakan banyak kue untuk nenek.
Setiap aku duduk di depan tv, sebenarnya aku masih berharap nenek membuka pintu kamarnya sambil celingak-celinguk (dan jika ada bapak) cengengesan, lalu duduk di kursi sebelah kanan. Berjuta kali kita mengajak nenek duduk di tengah, tapi lebih rela leher pegal pegal ketimbang sungkan. Begitu pun, dia tetap menonton sambil tersenyum – meskipun sudah agak tidak kedengaran.
Tuhan, aku ingin membelikannya batere untuk alat dengar.
Dan semua ini datang seperti gelombang ombak melahap habis istana pasir yang terlihat padat dan kokoh, menyapunya habis tak bersisa.
Kita tidak bisa membahagiakan mereka yang sudah tiada.
Aku sesenggukan, padahal sudah sebisa mungkin ditahan. Lalu sok tenang padahal mata seperti tertarik ke belakang.
Tuhan,
Aku belum pernah merasa begitu kehilangan.
Terutama kesempatan untuk melihat senyum tulusnya.
Kalau bisa, aku ingin membawakan semua kue, susu, eskrim, durian, sate, mesin jahit, kain, dan semua hal favorit nenek yang ada di dunia ini untuknya.
Tuhan,
Tolong bahagiakan Nenek.
Suatu hari nanti, aku akan melihatnya lagi,
Dan ikut tersenyum.
No comments:
Post a Comment