October 10, 2014

Pulanglah, Malam Sudah Larut

Bulan mengintip malu-malu
Dibalik gumpalan awan yang menyebar membelah malam dalam senyumnya

Disini, kita memandang hitam kelabu dengan takjub
Seakan tak ada satupun warna yang dapat menandingi semburat pucat
Yang menenggelamkan segalanya.

Karena sinar lembut itu merenggut seluruh daya,
Sampai raga tak mampu lagi mengelak dari hujam rasa
Yang sekonyong-konyong memenuhi rongga mata dengan hangat,
Sesak.

Lalu kita tertawa
Berteriak
Memaki dunia yang sudah seperti neraka ini
Telentang tak berdaya terseret ombak rindu yang tak ada habisnya.

Tapi di tengah kesengsaraan itu,
Suara kita bergaung hingga ke sela ruang hampa
Dan kita bernyanyi
Sekuat tenaga
Meski serak dan
Angin mendera
Hingga mati rasa

Kita bernyanyi
Untuk setiap tangis yang tak terbendung lagi

Dan malam ini,
Dengan cinta yang tak pernah selesai menyiksa kita,
Dan dunia yang sialnya terus berputar,
Dan bulan yang dengan sempurna mencibir di atas sana,

Aku tersadar, bahwa
Meski tanpa hadirnya cinta,

Denganmu
Aku utuh

October 9, 2014

Parkiran SR Pagi Ini Dingin Sekali

Menulis bukanlah sekedar ladang untuk berkarya.
Menulis, bagiku, lebih berupa kanvas cerita.
Karena setiap karya mengandung makna,
Dan setiap kata bertabur rasa.

Jadi ketika ada banyak orang membaca tulisanmu,
Dan menyukainya,
Mungkin, kau akan merasa senang.
Karena yang manusia butuhkan atas karyanya tak lebih dari apresiasi yang tulus.

Tapi berapapun jumlah pembaca setia,
Betapa pun harumnya komentar yang kau terima,
Tidak akan cukup.

Karena sesungguhnya yang kau tunggu bukan dipuja,

Tapi sepotong sapa dan senyum khas miliknya.

Apalagi jika ia tiba-tiba berkata,
"Ah, tulisanmu bikin jatuh cinta"

October 8, 2014

Kalau Saja Kita Tidak Perlu Berandai-Andai

Lelaki itu menangis.

"Ada apa?" Kau menghampirinya.

"Gadis ini... Dia.. Kekasihku."

Kau meraih secarik foto yang ia berikan.

"Cantik," Ujarmu sambil tersenyum. "Lalu, kenapa Tuan menangis?"

Lelaki itu menyeka air matanya.

"Bagaimana jika sepuluh, lima puluh tahun, seratus tahun lagi, dia tiada?"

Kau mundur.

Lalu berbalik, melangkah cepat-cepat.

Sebelum sesak meluap berjejalan ke luar

Dan matamu berair.

Dongeng Sebelum Tidur

Elang mengepakkan sayapnya – terbang tinggi di atas kastil yang berdiri kokoh jauh di dalam hutan belantara. Dibawahnya menari seekor naga, yang dengan mudahnya menghembuskan api ke balik ranting dedaunan. Mereka tertawa melihatnya meranggas, terbakar dari akar sampai ke pucuk.

Lalu dengan anggun Elang hinggap di leher Naga, bertanya.

“Jika kita bisa hidup seratus tahun lagi, apa yang akan kau lakukan?”

Lalu Naga mendengus sambil menjawab. “Jika aku hidup seratus tahun lagi, mungkin, seluruh dunia sudah musnah. Dan aku mati sendirian. Tapi mungkin juga aku akan meninggalkanmu, agar tidak bisa melihatku tua dan keriput.”

Elang tersenyum. Lalu mengecup setiap gurat sisik lengan kekasihnya. “Tidak bisakah kau padamkan api itu untukku?”

Detik berlalu. Menit.

Elang mulai merasakan sesuatu yang janggal. “Naga?”

Dan ia pun terkesiap saat kepala Naga jatuh menggelinding menuruni bukit – tanpa darah setetes pun. Naga membatu. Dan Elang dapat mendengar tawa yang melengking tinggi, tapi menusuk jantung.

“Penyihir sialan!” Elang murka. Merah merambati sekujur tubuhnya. Amarah menguasai dirinya, hingga ia bisa menyingkap kabut tipis yang melindungi sang penyihir. Dalam satu hitungan, Elang terbang melesat dan menggores pipi keriput itu. Namun tangan panjang dan kurus itu dengan gesit menangkap Elang, lalu dalam sekejap melenyapkannya jadi abu.

“Dasar Elang tak tahu diri.”

Aku menepuk debu di telapak tanganku, meraih sapu terbang dan melesat hilang.