April 30, 2017

Merah Hitam

Aku tidak pernah berencana untuk mati di sini.

Di tengah tumpukan bara yang menyelimuti salju, dan makhluk fana yang bertingkah seolah mereka telah terbiasa. Dengan api yang menyala-nyala. Dengan neraka.

Makhluk-makhluk bodoh itu hanya berkicau tentang mentari yang setiap pagi menyapa sang embun dengan hangat, berusaha menjaganya terlelap sebelum hujan turun dan membawanya pulang. Dan mereka menjeritkan pilu mentari saat embun tergelincir dan tenggelam dalam gelap tanah yang menertawakan keduanya.

Padahal, sedari dulu, tanah melindungi embun dari panasnya mentari yang menguapkannya. Lalu mereka melebur dalam satu, meninggalkan dunia yang tidak pernah berusaha mengerti sepenuhnya. Akan segalanya.

Tapi, kau peluk aku di tepi jurang itu. Maka kucumbu angin dalam detik-detik indah dengan debur ombak yang berkejaran mencium punggungku. Aku tertawa, dengan air mengalir dari kedua mataku. Dan ranting yang membelit sekujur tubuhku. Membawaku masuk ke dalam tumpukan abu dan air yang bercampur menjadi candu.

Kau bunuh aku.

Jauh sebelum aku tiba di sini, menikmati kota dalam pendar bulan dan remang lampu di pinggiran jalan. Menghindari lalu lalang dan semua hiruk pikuk penuh kebohongan, dan, rayuan gombal. Hingga aku tiba di sebuah kedai kopi dan merebahkan diri dan tiba-tiba seorang gadis menghampiriku. Rambutnya tergerai bebas, hitam legam menambah kontras pada kulitnya yang pucat. Ia tersenyum padaku. Berkenalan, basa basi, hingga menawarkan diri untuk bersama denganku. Setidaknya malam itu. Aku bergeming, mengalihkan pembicaraan yang berputar di sekelilingnya. Dan di satu saat, aku tertawa. kencang sekali, hingga mataku panas dan aku meninggalkannya termangu - mungkin kecewa telah dicampakkan olehku. Aku berlari menyusuri jalan sepi, menenggak harapan dalam botol ketiga yang kubawa malam itu. Mencari bulan, tuhan, atau siapapun yang dapat mencabut hitam di pelupuk mataku.

Tidak, tidak. Aku tidak patah hati. Apalagi depresi. Aku hanya perlu menemukan jati diri, seperti kata orang-orang di ujung jalan sana yang terus memperhatikanku dengan tatapan iba dan bisik menjijikan yang mulai membuatku berteriak marah sambil mengacungkan botol pecah dalam genggaman tanganku. Mereka menjauh. Ketakutan. Untuk pertama kalinya pada malam ini, aku merasa senang.

Lalu aku mulai melihatmu. Di bangku taman, dengan jaket kesayangan dan ranselmu yang mulai usang. Aku melihat kau dan aku bercengkrama di bawah lampu jalan sambil menunggu taksi yang tak kunjung datang. Aku melihatmu mengecup pipiku lembut di teras, mengira tak ada yang memperhatikan. Aku meilhat kita bergandengan tangan di atas jembatan, menikmati indahnya kota dalam pelukan malam. Aku melihatmu bersandar di bahuku, berceloteh tentang film yang kita tonton tadi siang. Aku melihatmu di atas gedung, di bawah pohon, di samping kedai, di setiap penjuru yang kupandang, di saat aku melihat, saat aku memejam…..

Aku melihatmu dimana-mana.

Dan tiba-tiba aku menabraknya. Seseorang berperawakan tinggi besar yang mulai meraung dan mendorongku. Lalu kita bernyanyi, dengan jemariku yang menelusuri tubuhnya - dan sebaliknya. Kami menari, berlenggok di atas deras hujan,

Dan hal berikutnya yang kutahu, ia mengarahkan pecahan kaca itu pada tubuhku - dan aku tergeletak dalam merah dan hitam yang bergelut dalam diam.

Ia telah berhasil, sayang.
Ia telah berhasil mencabut belati yang kau hujamkan tepat di jantungku.

Aku tidak pernah berencana mati sendiri.
Tapi, kini bebas.



Perpustakaan SMA, 
4 Mei 2013