May 19, 2014

Bukan Cerita yang Dia Butuhkan

Angin malam yang awalnya menyapa mulai menampakkan keganasannya. Rok itu berkibar, memerlihatkan tumitnya yang berkilau diterpa lampu taman. Ia menatap dia, yang tengah menggaruk kepalanya dengan dahi berkerut.

"Tapi saya tidak mengerti. Kenapa kalian mau berjanji dengan hal yang tidak pasti? Bahkan kemungkinannya terlalu kecil. Akhirnya, kan, kalian sendiri yang kecewa."

Ia terdiam. Jangkrik bernyanyi di kejauhan. Ia melepas genggamannya, membiarkan mawar itu terjatuh di atas bebatuan. Lalu tertawa.

"Kamu mungkin belum pernah jatuh cinta."

Dia mengernyit, menolak tuduhan ia.

"Kamu tidak pernah jatuh cinta sedalam itu."

Ia menghela napas.

"Ya. Yang aku lakukan memang bodoh, menyetujui ide konyolnya bertemu setahun lagi. Apalagi terus menunggu tiap tahun di tempat yang sama. Mungkin, seharusnya ini hanya terjadi di film film remaja."

Ia tersenyum.

"Seni menunggu bukanlah mencari jawaban, tapi bersiap dengan semua kemungkinan. Dan, dengan menunggu, perasaan yang tidak benar benar ada perlahan hilang. Bagus untuk memastikan, juga untuk merenungkan banyak hal."

Dia mengencangkan resleting jaketnya. Dingin sudah memeluknya terlalu lama.

"Sebagian orang menganggap, hubungan adalah apa yang bisa dijalani bersama. Suka ataupun duka. Berakhir saat keduanya terpisahkan oleh jarak.

Sebagian menganggap hubungan adalah apa yang bisa dinikmati. Senang sama senang, untung sama untung. Berakhir saat keduanya, atau salah satu, sudah tidak lagi merasa bahagia.

Sebagian menganggap hubungan adalah apa yang terasa di hati...."

Ia menepuk roknya, menepis debu yang menempel.

"Meskipun terlihat seperti orang gila, tapi yang mengandalkan hati adalah orang orang yang paling bahagia."

Dia menunduk. Tidak lagi menatap ia dengan tajam.

"Tapi tetap saja, yang kalian pertaruhkan sudah bisa dipastikan salah..."

Angin yang sedari tadi murka menyingkirkan awan di atas mereka. Bintang menunjukkan pesonanya. Menari di atas hitamnya malam.

Ia menepuk bahu dia.

Lalu berjalan pergi.

Lima langkah kemudian, ia berbalik.

"Oh, dan satu lagi.

Mungkin, dengan berjanji, kami setuju untuk saling menyakiti. Tapi janji itu dibangun di atas mimpi. Kalau saja kau tau bagaimana rasanya."

Senyum ia mengendur. Ia berkata tegas.

"Apakah dengan tidak menjanjikan yang tak pasti kamu tidak pernah menyakiti?"

Dia terhenyak.

Ia tersenyum simpul ketika dia beranjak meraih sepeda. Mengayuhnya pulang. 





Tulisan ini adalah respon dari: Akar

May 18, 2014

Jatuh

Aku jatuh cinta pertama kali pada suara lembut yang membangunkanku setiap pagi. Nyanyian bergemerincing halus setiap sebelum tidur, dan buaian penuh kasih sayang. Serta masakannya yang luar biasa dan kesabarannya yang tak terkalahkan. Meskipun belakangan ini aku seringkali kesal mendengar omelannya, atau ceritanya yang tak selesai selesai, Ibu adalah cinta pertamaku.

Lalu, aku jatuh cinta pada aroma Ayah yang membekas di ujung hidungku, tercium hingga ke seberang ruangan, tertinggal di bantal kesayangan yang mulai kusam. Meskipun beberapa tahun setelahnya aku mencibir setiap kali ia merokok, dan pada akhirnya ia benar-benar berhenti, aroma Ayah yang satu ini tetap membuat rindu sesekali.

Aku jatuh cinta pada perhatian Nenek, yang terkadang mengingatkanku tentang betapa cepat aku tumbuh dewasa, sampai ingin menangis rasanya. Meskipun akhir-akhir ini aku lelah dengan pertanyaan penuh kekhawatirannya, atau obrolan panjang saat aku tengah menonton, Nenek adalah nenek nomor satu di seluruh dunia.

Pada rintik hujan yang menumbuhkan nostalgia. Suara air yang menenangkan, aroma tanah yang menyegarkan, dan warna dunia sehabis hujan yang begitu bersih dan terang. Meskipun kadang hujan marah dan menghanyutkan banyak hal, ia adalah apa yang membuat kita duduk termenung memikirkan banyak hal dalam hidup. Sekaligus menghidupkan. Bahkan, aku mulai jatuh cinta pada petir.

Pada perjalanan jauh melewati hutan dengan pohon tinggi-tinggi, jalanan kecil berkelok-kelok, dan tebing terjal kehijauan. Meskipun rute itu rawan kecelakaan, atau Ayah yang tegang sepanjang jalan.

Pada logat Indonesia yang bermacam macam. Juga bahasanya yang begitu beragam. Meski aku tidak mengerti, senang rasanya di tengah sekelompok orang dari suku berbeda berincang-bincang. Di tengah semua itu aku merasa kecil dan tidak tahu apa-apa. Tapi di tengah keasinganku, mereka menerima.

Pada sekolah dan jadwalnya dari senin sampai sabtu, terus menerus, yang mempertemukanku dengan banyak cerita. Rasa. Dan teman yang kuanggap keluarga. Meskipun sekolah membosankan dan banyak sekali salahnya, tapi akuilah betapa kita merindukannya.

Pada tenda makanan di seberang jalan yang menyajikan sate kulit hangat serta telur puyuh, dibakar dengan rasa yang begitu nikmat. Meski makanan itu sangat tidak sehat.

Pada sinar matahari pagi yang menembus celah pepohonan dan jatuh tepat di pipi, saat aku sedang malas malasnya berjalan menuju kelas. Menghangatkan. Memeluk erat dengan tangannya yang tiada.

Pada lagu lama yang masing masingnya mengandung kenangan, dan menghadirkan perasaan yang sama setiap lagu itu diputar. Meskipun kenangan itu sendiri mungkin sudah terlupakan. Tapi, nada yang kuat selalu menyimpan rasa.

Pada selembar kain sajadah di sudut kamar yang mendamaikan. Meskipun kadang dengan sengaja kuabaikan.

Pada kata kata, yang begitu romantis, menyakitkan, lucu, cerdas, dan memukau pada saat yang bersamaan. Meskipun kata-kata adalah senjata yang sangat menyakitkan.

Pada goresan awan di langit, tipis tebal membentuk lukisan yang terus berubah tertiup awan. Meski seringkali menyilaukan.

Pada manusia yang begitu kompleks dan bermacam macam. Meskipun orang-orang terburuk mempolitisasi segalanya - bahkan kepercayaan.

Pada jam jam terbuang di hari minggu yang hanya dihabiskan di depan televisi, komputer, atau bahkan hanya telentang di atas kasur. Meskipun seharusnya ada hal penting yang bisa dilakukan. 

Pada rasa haru sekaligus rindu saat sahabat di ujung telepon menceritakan pengalamannya, setelah bertahun tahun tidak berjumpa. Meski kadang kita lupa tentangnya.

Pada mimpi yang tergantung di kaki langit, beruntai untai milik ribuan orang penuh harapan. Polos seperti mata balita yang sedang meminta dibelikan boneka. Meskipun mimpi itu bisa jadi usang dimakan usia.

Pada debur ombak yang berkejaran jauh disana, indah diterpa sinar rembulan. Meski genggamannya mematikan.

Aku jatuh cinta pada cinta. Yang mampu mengubah seseorang jadi gila. Bisa mengubah segalanya. Menghilangkan segala apa jadi tidak kentara, sekaligus membuka lebar mata. Yang menjadikan kita manusia. Yang menandakan kita, kita.

Aku jatuh cinta pada dunia.

Kamu, bagaimana?

May 8, 2014

Manusia Ingin

Manusia

Ingin bebas dengan tali di sekeliling lehernya

Ingin dimengerti dengan mengabaikan tangis saudaranya

Ingin dicinta dengan memerkosa

Ingin bahagia dengan merayakan kematian setiap tahunnya

Ingin berbagi dengan memiliki

Ingin peduli dengan menutup telinga hingga tuli

Ingin bernyanyi dengan mencekik diri sendiri

Ingin hidup dengan meniupkan racun ke sekelilingnya

Ingin dilihat dengan menginjak

Ingin dikenal dengan wajah menunduk setiap saat

Ingin dikenang dengan kebencian memenuhi hatinya

Ingin abadi dengan menghancurkan ibu pertiwi

Ingin menjaga dengan membangun kandang raksasa

Ingin berkarya dengan menghina

Ingin berguna dengan berleha-leha

Ingin menang dengan mengalahkan

Ingin menjadi yang terkuat dengan berlindung di balik sejuta alasan

Ingin memimpin dengan membunuh rakyatnya

Ingin sempurna dengan menikmati belenggu nafsunya

Ingin tidak sendirian dengan mendepak semua orang

Ingin didengar dengan mengabaikan setiap pembicaraan

Ingin diutamakan dengan menomor-seratuskan

Ingin dianggap hebat dengan bualan yang tidak masuk akal

Ingin maju dengan melihat ke belakang

Ingin menjadi yang terdepan dengan terjebak dalam khayalan

Ingin tahu dengan tidak berani bertanya

Ingin bisa dengan diam saja

Ingin menjadi malaikat dengan iblis sebagai sahabat

Ingin pintar dengan tidak memahami apa apa

Ingin bijak dengan terlalu banyak bicara

Manusia

Memang terlalu banyak maunya

Kau Mungkin Tidak Tahu

Kau mungkin tidak tahu. Saat kau duduk termenung sendirian, seseorang di ujung sana memperhatikanmu - lalu tersenyum malu malu.

Kau mungkin tidak tahu. Ketika kau mengeluh lelah, dan menyerah, seseorang di seberang sana sedang berjuang mati matian untuk bahkan sampai lima ratus meter di belakang apa yang telah kau miliki.

Kau mungkin tidak tahu. Orang asing yang kau sapa dengan senyum tadi siang membatalkan niatnya untuk berhenti berusaha. Senyummu membangkitkan kembali semangatnya.

Kau mungkin tidak tahu. Dia yang kau bicarakan dengan nada jijik setengah kasihan itu ternyata seribu kali lipat lebih baik darimu.

Kau mungkin tidak tahu. Mereka yang tidak pernah ada saat kau cari, ternyata adalah orang-orang yang paling peduli.

Kau mungkin tidak tahu, tapi kamu sudah terlambat. Kesempatan itu sudah kau lewatkan, dan tak akan kembali lagi.

Kau mungkin tidak tahu. Mereka yang kau anggap lebih baik itu pernah melakukan kesalahan yang sama. Dan mereka yang kau anggap buruk ternyata lebih mulia hatinya.

Kau mungkin tidak tahu. Atau tidak sadar, semua orang yang kau sayangi sedang meregang nyawa perlahan. Dan kau akan terus kehilangan.

Kau mungkin tidak tahu. Waktu yang kau habiskan bersenang-senang itu tidaklah sia sia. Semua yang terasa berlalu lebih cepat akan terus teringat.

Kau mungkin tidak tahu. Apa yang kau keluhkan kali ini, atau kemarin, atau kemarin lusa, tidak ada bandingannya bagi banyak orang di luar sana. Percayalah, bahwa kau yang tengah membaca ini, sama denganku, masih memiliki banyak pilihan indah dalam hidup. Tidak semua orang begitu.

Kau mungkin tidak tahu. Sebanyak apapun kekurangan mereka di matamu, keluarga adalah mereka yang paling menyayangimu. Begitu juga sebaliknya. Dan keluarga juga adalah mereka yang tak punya ikatan darah tapi mengisi sebagian besar ruang di hati.

Kau mungkin tidak tahu. Pengendara motor yang tadi hampir menabrakmu dan kau maki habis habisan itu baru saja mendengar bahwa anaknya sedang sakit. Pengendara mobil di sampingnya baru saja dipecat. Dan supir taksi didepannya masih berduka setelah seminggu istrinya meninggal dunia.

Kau mungkin tidak tahu, namun ketahuilah bahwa hidup ini tidak sesederhana itu. Pengalaman dan rencana yang kau susun boleh jadi begitu bahagia, tapi suatu saat kau terbangun dan hidup menamparmu tepat di pipi kanan. Dan pipi kiri. Lalu menertawakanmu kencang kencang.

Kau mungkin tidak tahu, manusia manusia lain yang bersinggungan dengan kita itu sedang sama sama berjuang. Mungkin mereka sudah kena tampar hidup duluan. Beberapa kali. Dan mereka yang hidupnya paling berat itu, jika selamat, adalah manusia paling kuat.

Kau mungkin tidak tahu kalau kita, manusia, adalah makhluk paling jahat dan perusak dan egois dan sombong di muka bumi ini. Mungkin tidak semua, tapi berkacalah pada tumbuhan. Pada hewan. Jika kau malu, maka kamu masih lebih baik dari sebagian lain spesies kita.

Kau mungkin tidak tahu ketika aku menulis ini, aku tidak tahu akan mengakhirinya seperti apa. Setiap paragraf di sini adalah pemikiran yang spontan dan tidak tertata. Tapi kira kira, begini kesimpulannya.

Kau mungkin tidak tahu, tapi hidup adalah sesuatu yang paling tidak terduga. Roller coaster adalah analogi yang terlalu menyenangkan, karena ada kalanya kau harus mengarungi lautan, terseret di padang pasir seluas samudera hindia, atau bahkan jatuh terperosok jurang. Baik ungkapan maupun kejadian sebenarnya.

Dan kau mungkin tidak tahu, satu satunya cara kita untuk selamat dari tamparan hidup adalah dengan menikmatinya. Tentunya, dengan orang-orang yang kita sayangi.

Aku Ingin, Tidak

Aku ingin mengutarakan perasaanku dengan lagu
Yang dinyanyikan pengamen tua di ujung jalan itu
Bukan gubahan cinta yang mendayu-dayu
Atau joget dendang melayu

Aku ingin mengutarakan perasaanku dengan embun jatuh dari dedaunan
Bukan debur ombak di laut selatan
Atau bintang terpanggang di kejauhan

Aku ingin mengutarakan perasaanku dengan angin
Yang membelai rambutmu lembut
Bukan api yang berkobar liar
Atau hujan yang menghanyutkan kenangan

Aku ingin mengutarakan perasaanku dengan tawamu
Yang ringan, tulus dari lubuk hatimu
Bukan ratusan janji
Atau mencetak mimpi

Aku ingin mengutarakan perasaanku dengan bahasa bayi
Dengan sinar mentari yang menerobos celah di pagi hari
Dengan nyanyian malam yang bercerita tentang sunyi
Bukan sepi

Aku ingin mengutarakan perasaanku
Dengan senyum simpul di penghujung hari
Bukan puisi dengan rima yang bertubi-tubi
Dan pilihan kata yang buruk sekali

Aku ingin mengutarakan perasaanku
Dengan dialog dalam hati

Aku ingin
Mengutarakan perasaanku
Dengan jujur
Dan lembut
Tanpa mengutarakan perasaanku

May 5, 2014

Kupu-Kupu

Senja kali ini aku tak mampu berpuisi. Lidahku kelu, jemariku sibuk menggenggam erat duri. Merah segar mengalir di telapak tanganku.  

"Maaf, tanganmu terluka. Bisa saya lihat sebentar?" Aku tersipu.

Belasan kupu-kupu melintas di hadapanku. Di atas pepohonan yang tumbuh lebat, jauh lebih besar dari sepuluh tahun lalu. 

"Aku benci kupu-kupu." Kau menepis seekor hitam oranye yang sedang mendekat. "Mereka menipu. Membuat kita menyukainya, gatal gatal setelah mencoba menggapainya. Tabiatnya masih sama. Tidak ada yang berubah kecuali wujudnya saat ia masih ulat." Aku tersenyum. "Aku suka kupu-kupu."

Seekor hinggap di pangkuanku. Merah biru. Membatu, seperti sedang memperhatikanku.
"Kau mengharapkan kedatangannya?" Ia berbicara padaku.
"Ya."
"Kau tahu, aku adalah hitam oranye yang dulu ia tepis."
"Benarkah?"
"Ya, sepuluh tahun yang lalu. Aku terlahir kembali dengan warna berbeda."
"Bohong."
"Ya sudah kalau tidak percaya." Ia terbang perlahan, lalu berkata. "Oh, dan selamat menanti."

"Kenalkan, saya Kayu."
"Kayu, seperti jati?" 
"Ya, seperti jati." Kau tersenyum. Seperti mentari yang mengintip di balik awan. Cerah, tapi tak menyilaukan. Dan, mau tak mau, senyum itu menular.

Lampu taman mulai menyala. Di balik gelap, malam mulai menunjukkan pesonanya. Bulan dan bintang menyanyikan lagu tidur yang hanya dapat di dengar hati, terutama oleh orang-orang yang tengah duduk sendiri. Sepi.

"Boleh aku memanggilmu Jati?" Celetukku setelah beberapa jam kita duduk di bangku ini.
"Baiklah. Aku panggil kamu Bobo, ya, Nina!" 

Deras sungai yang mengalir tak jauh dari sini menyelipkan simfoni di tengah sunyi. Mengantarkan deru angin yang menusuk tulang, mengancam akan tinggal di dalam dan hanya keluar jika dipijat esok pagi. 

"Jadi, kamu itu relawan, Jat?" Tangannya begitu cekatan mengobati luka di telapak tanganku.
"Begitulah. Minggu depan aku akan berangkat ke Merapi, membantu teman-temanku yang sudah beberapa minggu tidak pulang. Nanti kami bergantian bertugas disana." 
"Berarti, aku tidak akan bertemu denganmu lagi di sini?"
Kau tertawa. Renyah, seperti kue kering buatan Ibu di hari Idul Fitri. Membahagiakan.

Seekor kupu-kupu terbang mengitari lampu, sepuluh langkah dariku.

"Bagaimana kalau, tahun depan, tepat tanggal ini satu tahun lagi, kamu tunggu aku di tempat yang sama?"
Aku mengangguk. Menyanggupi ide gila itu sepenuh hati.

Kupu-kupu itu mendekat. Abu-abu. Tipis, namun sayapnya begitu lebar dan kokoh. Dan jika dilihat dengan seksama, ada garis oranye tipis menyebar di ujung sayapnya, yang entah kenapa mengingatkanku padamu.

"Baiklah. Kuharap kamu benar-benar duduk disini tahun depan." Kau berdiri, lalu mencabut bunga matahari di sampingmu. 
"Terima kasih sudah menghangatkan sore ini, Nina. Sampai ketemu tahun depan." 
Aku menggenggam erat setangkai pemberian darimu. Senyum lebar tak lepas dari wajahku sampai seminggu.

Kau tahu, setiap tahun aku menunggu di taman ini. Duduk hingga jam sembilan malam, di bawah sinar rembulan dan pepohonan yang makin rindang. Setelah sepuluh tahun menanti, aku menganggap rutinitas ini lebih cocok dijadikan hobi.

"...Tampak kepulan awan panas bergulung-gulung menelan semua yang berada didepannya. Kendaraan berwarna biru yang ditumpangi para relawanpun menjadi korbannya. Dikabarkan, empat relawan tewas akibat terhempas awan panas dalam peristiwa itu...."
 
Aku tak percaya moksha. Tapi kuharap kau terlahir kembali sebagai kupu-kupu abu dengan garis oranye di ujung sayapnya.

Kutatap mawar yang masih kugenggam erat itu. Merah mengalir di telapak tanganku. Aku beranjak pulang.

May 4, 2014

I Wish We Had More Time

We need more time.
Inget nggak sih, kapan pertama kali kita pake seragam sekolah? Hari pertama masuk SD? Waktu itu, malam sebelumnya saya nyoba baju putih merah yang super kaku dan gombrang sana sini. Termasuk sepasang sepatu dan kaos kaki baru. Berdiri di depan kaca, muter muter entah berapa kali sambil cekikikan sendiri. Centil, memang, tapi begitulah euforia saat itu. Masuk SD. Kalaupun ternyata beberapa bulan kemudian saya baru tahu harus pakai kacamata silindris empat, yang berarti selama setahun kebelakang pandangan saya kabur macam efek camera360, tapi kenangan di hari pertama kelas satu SD itu masih melekat sampai sekarang. Tentang gimana teman pertama yang saya kenal hari itu ternyata rumahnya beberapa puluh meter dari rumah saya. Tentang gimana kita main otopet setelah itu. Tentang banyak hal. Pertama kali masuk sekolah. Dan, tanpa terasa, sekarang saya sudah menjadi mahasiswa.
We need more time.
Pertama kali jatuh cinta. Ha! Ingat? Mungkin, bisa dibilang, pertama kali ngalamin yang namanya cinta monyet. Atau apapun itu namanya. Saya sendiri termasuk yang baru mengalami masa ngeceng alay saat kurang lebih SMP. Pertama kalinya merasakan hal berbeda ketika tertarik pada lawan jenis. Saat itu, segalanya terasa berubah. Butterflies in our stomach, curi pandang setiap ada kesempatan, jumpalitan setelah berpapasan... Oh wait, sekarang juga masih begitu. Tapi, ingatkah kita rasanya, sekian tahun yang lalu itu? Sekarang, sudah berapa orang yang kita jatuhi? Sudah berapa banyak yang menangkap kita saat kita jatuh? Ups, jadi galau. Anyway, setelah sekian tahun, sekian wajah yang bikin kita klepek-klepek, sekian cerita penuh tangis dan tawa, sadarkah kita kalau ini sudah tahun 2014? Buat saya, sudah 6 tahun sejak pertama saya mengenal kata keceng mengeceng. Saya sendiri sudah menginjak tahun ke delapan belas. Dan, rasanya, baru kemarin saya mentertawakan teman SMP saya yang curhat tentang kecengannya. Masih kecil kok sudah bicara tentang cinta. Pusing sendiri, pula. Begitu pikir saya saat itu. Sekarang? Ah, jadi malu sendiri. Tapi tetap saja, rasanya, kok, kita sudah ada disini. Dengan banyaknya cerita yang tidak penting tapi penting.
We need more time.
I don't know about you guys, but I think every students understand how time flies faster than the light. Lagi lagi kecepatan cahaya. Fisika. Ujian. Ah, sudahlah. Semua pelajar, termasuk yang super duper rajin, pasti merasa, awal semester hingga minggu ujian adalah fase waktu yang sangat fana. Kemarin kita tarik napas dalam dalam, siap menyongsong hari baru setelah liburan, dan sekarang tiba-tiba kita dihadapkan soal ujian pertama. Ya Tuhan, ampunilah hamba.
We need more time.
Saya pernah terbangun dalam keadaan panik. Panik, karena tiba-tiba saya terbangun dengan rutinitas hidup seperti ini, seperti sekarang, Panik, kenapa tiba-tiba hidup saya jadi begini? Panik, karena rasanya baru kemarin jadwal kita cuma tidur dan main. Baru kemarin kita baca buku pertama kita. Baru kemarin kita pulang sore sendiri. Panik, ingin tidur lagi tapi tak bisa. Panik karena tiba-tiba kita punya tanggung jawab, meskipun baru untuk diri kita sendiri, padahal hati kecil kita masih sembunyi dibalik kursi, belum siap. Panik mencari masa kecil, Panik mencari hari kemarin. Panik ingin mengulang waktu, atau memberhentikannya, atau melesat langsung ke bulan depan. Atau tahun depan. Padahal, kita tahu sama tahu kalau rasa panik itu hanya muncul dari sugesti kita sendiri.
We need more time.
Untuk banyak orang, saat ini, waktu adalah hal yang paling menghambat kebahagiaan kita. Terlambat. Terlalu cepat. Bukan waktu yang tepat. Butuh waktu yang lebih banyak. Menyia-nyiakan waktu. Waktu yang menjawab. Andai waktu bisa berjalan mundur. Andai waktu bisa kita atur...
 We need more time.
Manusia memang terlalu banyak bernostalgia. Mengulang hal yang kita suka, menyingkirkan hal yang mengganggu kita. Bahkan, kalau bisa, meniadakannya. Itulah kenapa kita jadi begitu tergantung pada waktu. Karena kita menyamakan waktu dengan momen. Dan momen yang membahagiakan tidak akan terasa sama saat terjadi untuk kedua kalinya. Dan meski kita memohon, meminta, menderita untuk mendapatkan lebih banyak waktu, percayalah bahwa sesungguhnya itu tidak akan mengubah apa-apa. Karena diri kita saat ini terbentuk dari jalan jalan yang kita pilih selama waktu yang terbatas itu. Ya, kadang waktu yang begitu sempit ini membuat kita nyaris tidak mungkin melakukan hal yang kita suka sekaligus menjalankan tanggung jawab kita. Itulah kenapa orang yang paling bahagia adalah orang yang bisa menikmati waktunya, tanpa penyesalan.
We need more time?
We don't need more time. Everyone has the same 24 hours a day, 7 days a week, and 52 weeks a year. Yes, we are all dying. The moment you finish reading this, there might be someone dead across the street. I might die tomorrow. Or today. Or next year. But that's not the point. We are all dying. We are all running out of time. That's why you have to fight, to do what you really want. To be that person you wish to be. To live the life you dream of. To be with people you love. To die happy. To live freely.
We don't need more time. We just need to live more.