May 4, 2014

I Wish We Had More Time

We need more time.
Inget nggak sih, kapan pertama kali kita pake seragam sekolah? Hari pertama masuk SD? Waktu itu, malam sebelumnya saya nyoba baju putih merah yang super kaku dan gombrang sana sini. Termasuk sepasang sepatu dan kaos kaki baru. Berdiri di depan kaca, muter muter entah berapa kali sambil cekikikan sendiri. Centil, memang, tapi begitulah euforia saat itu. Masuk SD. Kalaupun ternyata beberapa bulan kemudian saya baru tahu harus pakai kacamata silindris empat, yang berarti selama setahun kebelakang pandangan saya kabur macam efek camera360, tapi kenangan di hari pertama kelas satu SD itu masih melekat sampai sekarang. Tentang gimana teman pertama yang saya kenal hari itu ternyata rumahnya beberapa puluh meter dari rumah saya. Tentang gimana kita main otopet setelah itu. Tentang banyak hal. Pertama kali masuk sekolah. Dan, tanpa terasa, sekarang saya sudah menjadi mahasiswa.
We need more time.
Pertama kali jatuh cinta. Ha! Ingat? Mungkin, bisa dibilang, pertama kali ngalamin yang namanya cinta monyet. Atau apapun itu namanya. Saya sendiri termasuk yang baru mengalami masa ngeceng alay saat kurang lebih SMP. Pertama kalinya merasakan hal berbeda ketika tertarik pada lawan jenis. Saat itu, segalanya terasa berubah. Butterflies in our stomach, curi pandang setiap ada kesempatan, jumpalitan setelah berpapasan... Oh wait, sekarang juga masih begitu. Tapi, ingatkah kita rasanya, sekian tahun yang lalu itu? Sekarang, sudah berapa orang yang kita jatuhi? Sudah berapa banyak yang menangkap kita saat kita jatuh? Ups, jadi galau. Anyway, setelah sekian tahun, sekian wajah yang bikin kita klepek-klepek, sekian cerita penuh tangis dan tawa, sadarkah kita kalau ini sudah tahun 2014? Buat saya, sudah 6 tahun sejak pertama saya mengenal kata keceng mengeceng. Saya sendiri sudah menginjak tahun ke delapan belas. Dan, rasanya, baru kemarin saya mentertawakan teman SMP saya yang curhat tentang kecengannya. Masih kecil kok sudah bicara tentang cinta. Pusing sendiri, pula. Begitu pikir saya saat itu. Sekarang? Ah, jadi malu sendiri. Tapi tetap saja, rasanya, kok, kita sudah ada disini. Dengan banyaknya cerita yang tidak penting tapi penting.
We need more time.
I don't know about you guys, but I think every students understand how time flies faster than the light. Lagi lagi kecepatan cahaya. Fisika. Ujian. Ah, sudahlah. Semua pelajar, termasuk yang super duper rajin, pasti merasa, awal semester hingga minggu ujian adalah fase waktu yang sangat fana. Kemarin kita tarik napas dalam dalam, siap menyongsong hari baru setelah liburan, dan sekarang tiba-tiba kita dihadapkan soal ujian pertama. Ya Tuhan, ampunilah hamba.
We need more time.
Saya pernah terbangun dalam keadaan panik. Panik, karena tiba-tiba saya terbangun dengan rutinitas hidup seperti ini, seperti sekarang, Panik, kenapa tiba-tiba hidup saya jadi begini? Panik, karena rasanya baru kemarin jadwal kita cuma tidur dan main. Baru kemarin kita baca buku pertama kita. Baru kemarin kita pulang sore sendiri. Panik, ingin tidur lagi tapi tak bisa. Panik karena tiba-tiba kita punya tanggung jawab, meskipun baru untuk diri kita sendiri, padahal hati kecil kita masih sembunyi dibalik kursi, belum siap. Panik mencari masa kecil, Panik mencari hari kemarin. Panik ingin mengulang waktu, atau memberhentikannya, atau melesat langsung ke bulan depan. Atau tahun depan. Padahal, kita tahu sama tahu kalau rasa panik itu hanya muncul dari sugesti kita sendiri.
We need more time.
Untuk banyak orang, saat ini, waktu adalah hal yang paling menghambat kebahagiaan kita. Terlambat. Terlalu cepat. Bukan waktu yang tepat. Butuh waktu yang lebih banyak. Menyia-nyiakan waktu. Waktu yang menjawab. Andai waktu bisa berjalan mundur. Andai waktu bisa kita atur...
 We need more time.
Manusia memang terlalu banyak bernostalgia. Mengulang hal yang kita suka, menyingkirkan hal yang mengganggu kita. Bahkan, kalau bisa, meniadakannya. Itulah kenapa kita jadi begitu tergantung pada waktu. Karena kita menyamakan waktu dengan momen. Dan momen yang membahagiakan tidak akan terasa sama saat terjadi untuk kedua kalinya. Dan meski kita memohon, meminta, menderita untuk mendapatkan lebih banyak waktu, percayalah bahwa sesungguhnya itu tidak akan mengubah apa-apa. Karena diri kita saat ini terbentuk dari jalan jalan yang kita pilih selama waktu yang terbatas itu. Ya, kadang waktu yang begitu sempit ini membuat kita nyaris tidak mungkin melakukan hal yang kita suka sekaligus menjalankan tanggung jawab kita. Itulah kenapa orang yang paling bahagia adalah orang yang bisa menikmati waktunya, tanpa penyesalan.
We need more time?
We don't need more time. Everyone has the same 24 hours a day, 7 days a week, and 52 weeks a year. Yes, we are all dying. The moment you finish reading this, there might be someone dead across the street. I might die tomorrow. Or today. Or next year. But that's not the point. We are all dying. We are all running out of time. That's why you have to fight, to do what you really want. To be that person you wish to be. To live the life you dream of. To be with people you love. To die happy. To live freely.
We don't need more time. We just need to live more.

No comments:

Post a Comment