September 28, 2015

Lampu Jalan

Angin bertiup kencang.

Saat hujan turun nanti, ia akan menghampiri dia yang sedang tengadah sambil tersenyum riang. Lalu mengajak dia berlari, melompat, menari. Menantang jutaan rintik yang menyapa tanah dalam deras. Habis kuyup, ia berikan segelas teh hangat agar dia tidak kedinginan. Rinai tidak pernah semerdu itu.

Ia akan menyematkan rangkaian melati di luar jendela. Biar sore nanti, dia pulang dan terpana - lalu senyum sendiri seperti orang gila.

Kemudian ia menitipkan secarik surat pada orang tak dikenal. Isinya hanya coretan. Atau mungkin tebak-tebakan. Atau potongan kalimat iklan.

Aneh. Tidak lucu, tapi berhasil bikin dia tertawa.

Ia tidak akan banyak memuja. Begitupun memaksakan rayuan gombal yang didapat dari majalah di warung sebelah. Ia akan dengan santai mengutip puisi lama buatan dia, seakan sudah hapal kata demi kata. Atau menempelkan potongan puisi di sela lembar buku yang sedang dia baca. Dengan ringan meniti rasa.

Langit dan bumi akan bosan dengan tingkah ia yang tak ada habisnya. Pun semesta.

Tapi tidak untuk dia.

Seiring detik yang berderap perlahan, ia hadir dalam cahaya yang menerobos kaca jendela. Ia ada dalam butir hujan yang berdentum di atas atap gedung sekolah. Ia tak pernah absen muncul di billboard iklan setengah gombal. Cover buku teka teki silang. Tebak-tebakan renyah di radio. Setiap kata dalam lagu romansa. Untaian frasa kacangan novel remaja. Debur ombak di tepi pantai. Rembulan di tanggal belasan. Tanah kering pasca kemarau. Cokelat hijau dedaunan. Ia ada dalam hembus angin malam. Dalam lembut dekap senja di batas cakrawala. Di atas langit. Tanah. Udara.

Ia dan dia menyatu dalam debu kota yang tercampur asin hujan buatan.
Terbang bebas berpegangan tangan - hinggap di tembok batas jalan layang.
Membawa bisikan di tengah semesta yang tak hingga luasnya.
Hampir tiada.





Angin bertiup kencang. Jendela dibuka lebar-lebar.

Aku melesat pulang.

September 23, 2015

Jeruji Kaca

Kemudian di tengah bara api yang menyala di atas kota,
Angin menggonggongkan sajak pilu tentang amarah yang membeku
Ratusan besi karat menari beralaskan debu
Bertahtakan aku.

Lalu?

Matamu tertawa dalam gelap

Mengejek daun yang jatuh terseret hujan
Yang tak henti merintih sejak takbir berkumandang
Dalam senandung senyap.

Keparat.

Malam ke sembilan belas aku terjaga.
Di bawah mimpi bergelombang membentuk wajah wajah serupa
Hingga satu titik memecah semesta, dan
Alam bersorak menyambut satu nama.

Ya.
Berlarilah sekuat tenaga.