December 27, 2015

Kaca

Di balik sepenggal kicau pipit pagi ini
Kau turun bagai kabut
Menjejak setiap inci kulit dengan tamak
Hingga beku

Tapi aku tak pernah benci dingin

Di antara terik aspal jalur pantura
Kau kepul asap kendaraan, yang senantiasa
Berkorban untuk sejuk di balik jendela
Perlahan mendekap
Melekat di sepanjang dinding dada
Tak bisa hilang

Tapi aku tak keberatan tercekik

Di puncak kemelut yang sibuk mencambuk
Kau semilir yang membalut rasa
Menyerap segala perih
Dengan kecup bilur, dan
Manis sapa dalam sedan

Tapi aku tak perlu takut nestapa

Di bawah kanopi bintang malam ini
Kau samudera yang melantunkan puisi
Rindu di muka gelombang tinggi
Dan gemerlap hitam yang
Mendekap nelayan di permukaan
Lalu menariknya sampai ke dasar
Tiada bersisa

Tapi saat ini, aku tak takut mati

Maka jahit jemariku
Untuk kau jadikan perisai
Yang memelukmu dari karu prahara

Dan segalanya

Dan saat musim berganti gugur
Esa berganda rupa
Pun bumi hujan melihat kita,

Akan duduk saja di bangku
Seiring terang padam satu persatu;
Aku tak apa. 

December 15, 2015

Sekian

Aku selalu terpesona oleh kucing.
Tidak, kau tidak salah baca.
Kucing. Ya, kucing.

Yang hanya tidur dan bermain
Dan makan dan main
Dan tidur dan main
Dan bodoh dan main
Dan main....
Tidak perlu banyak usaha,
Tapi sudah lucu.

Lebih dari itu,
Aku selalu terpesona oleh lampu-lampu jalan.

Barisan garis cahaya bernyanyi menemani kota yang sepi
Kalah jauh dibanding ribuan bintang di atas sana,
Tapi, tak apa.
Karena di balik kuning jingga di tepi jalan itu
Tersimpan berjuta kenangan dan harapan
Setiap jiwa yang melintasinya.

Lebih, lebih dari itu,
Aku selalu terpesona oleh langit senja.

Lembayung yang berdansa perlahan,
Yang menggumamkan nada berlapis nostalgia
Seakan waktu berdetak lambat
Tertegun oleh hangat yang menyelimuti tubuh kita
Dalam damai

Lebih, lebih, lebih dari itu,
Aku selalu terpesona oleh rintik hujan.

Derasnya sapa turun menggema
Menepis nyala merah yang menghantui dunia
Meluapkan hitam dalam dada, yang
Menyeruak serupa butir keringat hingga
Bersatu dengan udara yang dingin dan basah
Dan sendu

Lebih, lebih, lebih, lebih dari itu,
Aku selalu terpesona oleh laut.

Kilau di atas gelombang yang naik, turun,
Memeluk hati dalam gejolak rasa
Seperti nelayan yang tak kuasa menjauhi badai
Hanya ingin memeluknya
Lalu tenggelam.







Tapi oh, ternyata







Lebih, lebih, lebih, lebih, lebih dari itu,

Aku selalu terpesona olehmu.

November 17, 2015

Sejangkar berlabuh di dadaku.

Kemudian asap bertengkar dalam sekoci
Mengalahkan laut yang menggelinjang di bawah terik pertiwi.

Berkelebat camar dalam anganku
Mengoyak daging nahkoda di ujung batas itu.

Adakah malam puas melahap fajar dalam senggama,
Ataukah nestapa?

Setan!
Selamat datang.

October 19, 2015

Flare

Kita adalah anjing yang melayang di atas bukit
Mengaduh setiap kali kabut turun,
Meraung agar mentari menjejak petir di kaki angin.

Kusentuh wajahmu
Kau terkam aku.

(Belum rampung. Terlanjur tidur)

September 28, 2015

Lampu Jalan

Angin bertiup kencang.

Saat hujan turun nanti, ia akan menghampiri dia yang sedang tengadah sambil tersenyum riang. Lalu mengajak dia berlari, melompat, menari. Menantang jutaan rintik yang menyapa tanah dalam deras. Habis kuyup, ia berikan segelas teh hangat agar dia tidak kedinginan. Rinai tidak pernah semerdu itu.

Ia akan menyematkan rangkaian melati di luar jendela. Biar sore nanti, dia pulang dan terpana - lalu senyum sendiri seperti orang gila.

Kemudian ia menitipkan secarik surat pada orang tak dikenal. Isinya hanya coretan. Atau mungkin tebak-tebakan. Atau potongan kalimat iklan.

Aneh. Tidak lucu, tapi berhasil bikin dia tertawa.

Ia tidak akan banyak memuja. Begitupun memaksakan rayuan gombal yang didapat dari majalah di warung sebelah. Ia akan dengan santai mengutip puisi lama buatan dia, seakan sudah hapal kata demi kata. Atau menempelkan potongan puisi di sela lembar buku yang sedang dia baca. Dengan ringan meniti rasa.

Langit dan bumi akan bosan dengan tingkah ia yang tak ada habisnya. Pun semesta.

Tapi tidak untuk dia.

Seiring detik yang berderap perlahan, ia hadir dalam cahaya yang menerobos kaca jendela. Ia ada dalam butir hujan yang berdentum di atas atap gedung sekolah. Ia tak pernah absen muncul di billboard iklan setengah gombal. Cover buku teka teki silang. Tebak-tebakan renyah di radio. Setiap kata dalam lagu romansa. Untaian frasa kacangan novel remaja. Debur ombak di tepi pantai. Rembulan di tanggal belasan. Tanah kering pasca kemarau. Cokelat hijau dedaunan. Ia ada dalam hembus angin malam. Dalam lembut dekap senja di batas cakrawala. Di atas langit. Tanah. Udara.

Ia dan dia menyatu dalam debu kota yang tercampur asin hujan buatan.
Terbang bebas berpegangan tangan - hinggap di tembok batas jalan layang.
Membawa bisikan di tengah semesta yang tak hingga luasnya.
Hampir tiada.





Angin bertiup kencang. Jendela dibuka lebar-lebar.

Aku melesat pulang.

September 23, 2015

Jeruji Kaca

Kemudian di tengah bara api yang menyala di atas kota,
Angin menggonggongkan sajak pilu tentang amarah yang membeku
Ratusan besi karat menari beralaskan debu
Bertahtakan aku.

Lalu?

Matamu tertawa dalam gelap

Mengejek daun yang jatuh terseret hujan
Yang tak henti merintih sejak takbir berkumandang
Dalam senandung senyap.

Keparat.

Malam ke sembilan belas aku terjaga.
Di bawah mimpi bergelombang membentuk wajah wajah serupa
Hingga satu titik memecah semesta, dan
Alam bersorak menyambut satu nama.

Ya.
Berlarilah sekuat tenaga.

August 29, 2015

Siapa?

Kau membuatku ingin menulis.


Tentang seulas pucat sinar rembulan yang terlukis di wajahmu, menerbangkan butir hujan di sela dedaunan-lalu membelainya ke angkasa.

Tentang hijau laut yang menari di bola matamu, bergejolak lepas dalam hitam yang menyesapnya perlahan-membawaku tenggelam...

Tentang helai kapas dibalik ukiran kayu, berjejal menopang jutaan mimpi yang kau bawa dalam...

Tentang percik hangat di tengah badai salju yang kau hadirkan, genggam erat di tepi...

Tentang heningmu yang bernyanyi malu-malu, mendekap semesta hingga...

Tentang senja yang masih menyapa, menghidupkan kembali warna...

Tentang ratusan paragraf cerita tak bermakna...




Tentang rasa...





Tentang...















Kau membuatku ingin menulis

Tanpa kata.

August 23, 2015

.

Jika angin malam lalu yang dingin menusuk tak mampu menggigilkanku
Saat kutatap matamu yang dengan tajam menelisik ketiadaan,
Dan sepotong tawa lembut mengisi bingar dengan hening yang begitu cepat
Hingga bersemayam dalam angan sampai waktu tak bisa lagi kukejar,

Maka saat ini aku hanya bisa menatap langit langit
Berharap menemukan hitam di atas hamparan pasir dan rerumputan,
Mencari riak rembulan, atau siluet samar di kejauhan.
Berdoa untuk lupa.
Untuk rindu yang melebur dengan udara.
Semoga.

June 26, 2015

Jangan
Jangan berbaring di sampingku

Akan kutiup butir pelangi di pelupuk matamu
Hingga desau warna memenuhi ruang di antara kita
Dan setiap kata
Menggantung di udara
Berganti jingga

Jangan
Jangan duduk di sini

Gelombang nada akan menenggelamkanmu dalam sunyi
Saat akarku menggapai jemarimu
Lembut, seperti sinar bulan
Yang pucat keunguan
Di tengah terik siang kemarau

Jangan
Jangan menoleh

Kau akan melantunkan sungai yang tak pernah selesai
Dan kita akan menyelaminya lagi
Lagi
Lagi
Tak peduli seberapa
Dalam

Jangan
Jangan panggil namaku

Riak telaga akan menyesap putih tawamu
Dan kita mendesis biru
Di tengah ribuan kunang yang bersinar malu malu

Jangan,
Aku tak mau jatuh.

Kau akan melompat.





-Resah di malam buta, 
Angin pada serigala. 

April 10, 2015

Jarak

Jangkrik memenuhi hening kamar
Mengiringi degup yang tak juga melambat
Dan suara-suara dalam kepala yang tidak pernah mau berdamai

Kau duduk di luar
Dengan gitar, sebatang rokok, dan
Sebait cinta dalam lagu
Yang kau bilang terlalu pilu.

Sejujurnya,

Aku ingin, kau
Mendekap gigil yang bersemayam di pojok hati
Ngilu menggerogoti tawa larut malam yang sudah lama mati

Sudahlah.

Bulan terbaring pucat
Di atas hamparan gugusan bintang yang
Berbentuk seperti botol anggur
Hitam gemerlap.
Indah,
Dan membutakan.

Kusebut namamu.
Kau terdiam.

Angin mengecup hiasan bambu depan rumah
Yang bergemerincing seakan sedang tertawa
Atas dosa yang sedang kita renungkan.

Dunia sudah jadi gila.
Ataukah aku yang terlalu banyak bicara?

Sepuluh ribu kilometer kemudian,
Kau memetik halus setiap senar,
Tersenyum dibawah temaram lampu
Yang menyentuh wajahmu mesra

Sambil menatap laut di kejauhan

Berharap setiap nada
Sampai

March 23, 2015

Hai.

Disini gelap.
Jalanan seakan-akan merayap mendekat dengan cepat, merangkul sunyi yang berpendar malam ini.
Kau tahu rasanya, ketika radio tidak bisa melenyapkan sepi?
Setiap nada seperti membentuk sebilah sendu, dalam sekejap mengisi dadamu sampai sesak.
Tak tahu kenapa.

Yang kau tahu, kau ingin cepat pulang.
Atau sebisa mungkin tidak berada di tengah kelabu yang tak ada habisnya,
Sekaligus ingin tenggelam di telan aspal yang terlihat begitu hangat.

Yang kau tahu,
Ranting pepohonan membentuk siluet
Ribuan garis di atas kanvas hitam
Bergenggam erat, meski saling tergores

Yang kau tahu,
Sepotong sapa di ujung jalan itu
Benar-benar kau rindukan.
Meski mungkin tidak akan lagi kau temukan.

Dan yang kau tahu,
Menara di jalan layang tidak lagi bersinar
Kemelut ini membuaimu terus melaju kencang
Lagi,
Lagi,
Lagi...





Yang kau tahu,
Ruangan itu begitu cerah.
Apakah ini rumah? Pantai?

Dan kemudian ia datang.
Menggenggam tanganmu,
Tersenyum lebar.
“Dari mana saja?”

Dan kau pun tahu,
Kini, kau telah pulang.


March 10, 2015

Tuhan,

Siang tadi aku sengaja beli domino’s fantastic four dengan topping american classic cheese burger. Dua kotak kecil aku makan sendiri, satu untuk temanku, dan satu lagi kusisakan untuk siapapun yang berpapasan denganku, dan, beruntung.

Satu kotak itu kubawa-bawa sambil berjalan ringan ke arah masjid salman. Tadinya akan kuberi pada tim tukang parkir, tapi sepertinya terlalu kecil. Aku kembali melenggang menyeberang jalan – berharap berpapasan, dengan, entahlah – mungkin orang yang kukenal, atau, wajah asing yang lumayan tampan.

Kau tahu, Tuhan,

Di seberang jalan itu ada nenek-nenek yang sedang duduk di trotoar. Digelarnya terpal kecil untuk menjajakan beberapa jajanan seperti beng-beng, richeese wafer, dan lain sebagainya. Harganya memang mahal, tapi untuk seorang nenek berjualan seperti itu, kurasa memang wajar. 

Aku melewatinya.

Beberapa langkah kemudian, kakiku terhenti. Lalu aku berbalik mendekati nenek itu, dan bertanya.
“Bu, udah makan?”
Dia tertawa, bingung. 
“Mau ini bu?” Kusodorkan kotak kecil itu. 
“Itu apa?” 
“Pizza bu. Ini, buat ibu aja ya.”
 Lalu dia menerima dengan sedikit kikuk sambil menawarkan jajanannya. 
“Ini neng, mau bawa yang mana?” aku menggeleng dan pergi. 

Tuhan, muka nenek itu berseri seri. Senang sekali. 

Bahagia rasanya, melihat nenek itu. Menuju tempat wudhu aku bermonolog dalam hati. Harusnya, seorang ibu berusia lanjut sudah saatnya tinggal duduk di rumah, menemani cucu yang sudah mulai remaja sambil menunggu anaknya pulang. Bukankah ingin setiap hari melihatnya tersenyum senang seperti itu?

Lalu, Tuhan,

Tiba-tiba saja, rasanya, seperti ada yang tertoreh. 

Aku teringat Nenek.

Yang memiliki senyum paling khas – cengiran tulus saat dibawakan apa saja setiap pulang ke rumah. Yang akan menggenggam (padahal cuma camilan) erat-erat di depan dadanya sambil menyeringai lebar sampai matanya hampir tenggelam, lalu bilang, “Asiiiik! Nuhun eeeuy” dan memakannya pelan-pelan. Menikmati setiap gigitan.

Nenek yang jika dibawakan es krim, sate, atau durian, akan duduk di atas kasur sambil ucang angge dan cekikikan – dengan binar seperti di mata anak bayi yang melihat wajah kedua orang tuanya. Lalu melambaikan tangan agar aku duduk di sampingnya. Makan sambil tertawa sampai mulut belepotan.

Tuhan, aku ingin membawakan banyak kue untuk nenek.

Setiap aku duduk di depan tv, sebenarnya aku masih berharap nenek membuka pintu kamarnya sambil celingak-celinguk (dan jika ada bapak) cengengesan, lalu duduk di kursi sebelah kanan. Berjuta kali kita mengajak nenek duduk di tengah, tapi lebih rela leher pegal pegal ketimbang sungkan. Begitu pun, dia tetap menonton sambil tersenyum – meskipun sudah agak tidak kedengaran.

Tuhan, aku ingin membelikannya batere untuk alat dengar.



Dan semua ini datang seperti gelombang ombak melahap habis istana pasir yang terlihat padat dan kokoh, menyapunya habis tak bersisa.

Kita tidak bisa membahagiakan mereka yang sudah tiada.



Aku sesenggukan, padahal sudah sebisa mungkin ditahan. Lalu sok tenang padahal mata seperti tertarik ke belakang.

Tuhan, 

Aku belum pernah merasa begitu kehilangan.

Terutama kesempatan untuk melihat senyum tulusnya.






Kalau bisa, aku ingin membawakan semua kue, susu, eskrim, durian, sate, mesin jahit, kain, dan semua hal favorit nenek yang ada di dunia ini untuknya. 






Tuhan,

Tolong bahagiakan Nenek. 



Suatu hari nanti, aku akan melihatnya lagi,

Dan ikut tersenyum.

February 12, 2015

Gerimis di Jalanan

Dunia berputar kencang.
Semua berlalu lalang.
Aku tertinggal.

Apa kabarmu, Sayang?

Kucing menari di pojok kamarku. Bahagia dengan dunianya yang tak lebih dari ruangan empat ratus meter persegi ditambah beberapa gang sempit di luar. Mendengkur seperti tidak ada yang bisa mendengar.

Ah, betapa iri rasanya.

Sekarang, ia menggosok lehernya ke setiap kaki furnitur. Gatal. Lalu mengeong-ngeong lapar. Kau tahu apa enaknya jadi kucing? Tidak usah memikirkan masa depan. Terlahir di rumah yang nyaman, diberi makan tiga kali sehari. Yang penting terlihat lucu, tak peduli bagaimana busuk hatinya.

Kemudian aku berkaca.
Aku adalah kucing.

Dan kamu pasti tertawa. Tidak, tidak. Aku sedang serius.
Terkadang, semua orang hanya bisa melihat apa yang terpantul di permukaan – langit yang indah, cerah, mendung, jingga, biru, begitu berwarna. Tapi jika kau mendekat, riak itu kehitaman, dengan gelembung panas meletup di dalam. Mengejar kebas – tak sampai.

Bahagiakah kamu?

Adzan magrib bergema dari tiga penjuru – tiga musola berbeda yang tidak mau menyamakan frekuensi, tapi memilih untuk tumpang tindih beresonansi (atau sengaja ingin saling menghilangkan). Sampai tidak jelas sedang berdoa, mengaji, bernyanyi, atau ada yang mati. Bukannya mengejek Tuhan. Justru seharusnya kita bisa menghargai-Nya tanpa pamrih. Tanpa jadi sombong.


Jumat pertama. Mungkin, kamu sudah lupa.

Hujan mengetuk jendela.

Aku tidak mengerti bagaimana hujan bisa turun dimana saja, dengan mudahnya, lalu berhenti. Tanpa ragu, untuk hinggap di belahan lain bumi. Tak peduli sedang kemarau atau banjir memenuhi atap sekolahan; yang di bawah sana menangisi rumah tergenang atau menari kegirangan. Hujan hadir meninggalkan basah yang begitu syahdu – dan nostalgia, lalu pergi begitu saja. Tidakkah ia ingin mengenal rumah? Bukankah ada yang selalu menanti kedatangannya?

Kuharap, kamu baik-baik disana.


Kau tahu,

Meskipun hujan bisa berkelana, melihat apa saja – merengkuh siapa saja, aku memilih untuk duduk di atas kursi empuk menjilati tanganku yang hitam kecokelatan. Sambil sesekali mendongak ke atas, berharap sekarang hujan. Atau majikan datang membawa ikan segar.

Aku ingin jadi kucing selamanya.


Hujan menyenandungkan lagu cinta. Atau mungkin sudah waktunya salat isya.


Semoga kamu menemukan samudera,
Yang akan membawamu pulang.

Selamat malam.

February 3, 2015

A little bit too often

Buat apa kata
Kalau dengan bertatapan, kita
Sudah sama sama mengerti

Cukup sampai disini.

January 28, 2015

-

Kita hanyalah sebuah keterbinasaan yang tertunda.
Mencari bentuk, wajah,
Rasa,
Makna
Mendamba sosok berbayang diantara ramai belantara
Atau, sekedar berburu mangsa.