February 12, 2015

Gerimis di Jalanan

Dunia berputar kencang.
Semua berlalu lalang.
Aku tertinggal.

Apa kabarmu, Sayang?

Kucing menari di pojok kamarku. Bahagia dengan dunianya yang tak lebih dari ruangan empat ratus meter persegi ditambah beberapa gang sempit di luar. Mendengkur seperti tidak ada yang bisa mendengar.

Ah, betapa iri rasanya.

Sekarang, ia menggosok lehernya ke setiap kaki furnitur. Gatal. Lalu mengeong-ngeong lapar. Kau tahu apa enaknya jadi kucing? Tidak usah memikirkan masa depan. Terlahir di rumah yang nyaman, diberi makan tiga kali sehari. Yang penting terlihat lucu, tak peduli bagaimana busuk hatinya.

Kemudian aku berkaca.
Aku adalah kucing.

Dan kamu pasti tertawa. Tidak, tidak. Aku sedang serius.
Terkadang, semua orang hanya bisa melihat apa yang terpantul di permukaan – langit yang indah, cerah, mendung, jingga, biru, begitu berwarna. Tapi jika kau mendekat, riak itu kehitaman, dengan gelembung panas meletup di dalam. Mengejar kebas – tak sampai.

Bahagiakah kamu?

Adzan magrib bergema dari tiga penjuru – tiga musola berbeda yang tidak mau menyamakan frekuensi, tapi memilih untuk tumpang tindih beresonansi (atau sengaja ingin saling menghilangkan). Sampai tidak jelas sedang berdoa, mengaji, bernyanyi, atau ada yang mati. Bukannya mengejek Tuhan. Justru seharusnya kita bisa menghargai-Nya tanpa pamrih. Tanpa jadi sombong.


Jumat pertama. Mungkin, kamu sudah lupa.

Hujan mengetuk jendela.

Aku tidak mengerti bagaimana hujan bisa turun dimana saja, dengan mudahnya, lalu berhenti. Tanpa ragu, untuk hinggap di belahan lain bumi. Tak peduli sedang kemarau atau banjir memenuhi atap sekolahan; yang di bawah sana menangisi rumah tergenang atau menari kegirangan. Hujan hadir meninggalkan basah yang begitu syahdu – dan nostalgia, lalu pergi begitu saja. Tidakkah ia ingin mengenal rumah? Bukankah ada yang selalu menanti kedatangannya?

Kuharap, kamu baik-baik disana.


Kau tahu,

Meskipun hujan bisa berkelana, melihat apa saja – merengkuh siapa saja, aku memilih untuk duduk di atas kursi empuk menjilati tanganku yang hitam kecokelatan. Sambil sesekali mendongak ke atas, berharap sekarang hujan. Atau majikan datang membawa ikan segar.

Aku ingin jadi kucing selamanya.


Hujan menyenandungkan lagu cinta. Atau mungkin sudah waktunya salat isya.


Semoga kamu menemukan samudera,
Yang akan membawamu pulang.

Selamat malam.

No comments:

Post a Comment